SEPUTAR HUKUM NIAT BERPUASA RAMADHAN

                Sebagaimana ibadah sholat, puasa juga memiliki syarat-syarat yag harus dipenuhi. Apabila syarat ini tidak ada, maka ibadah puasa tersebut tidak sah. Dijelaskan dalam Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq jilid 2 pada halaman 97 bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan ibadah puasa ada 3 hal, yaitu dalam keadaan suci, terbebas dari haid dan nifas, serta berniat berpuasa.

                Niat merupakan syarat puasa karena puasa merupakan bentuk ibadah mahdhoh yang mengharuskan adanya niat di dalamnya. Hal itu berbeda dengan ibadah ghoiru mahdhoh (mu’amalah) seperti contohnya adalah dalam jual beli yang tidak mengharuskan adanya niat di dalamnya. Namun, ada beberapa hal yang perlu penjelasan terkait dengan niat puasa Ramadhan:

  1. Kapan memulai niat berpuasa?

                Niat berpuasa boleh dilaksanakan apabila sudah masuk bulan Ramadhan yaitu saat terbenamnya matahari (waktu Maghrib) di Bulan Ramadhan sampai terbitnya fajar shodiq di waktu Shubuh. Jadi, tidak perlu menunggu setelah Sholat Tarawih sudah dibolehkan berniat puasa. Karena dalam hitungan arab terbenamnya matahari itu adalah pertanda pergantian hari, bukan saat jam 00:00 dini hari.

                Karena niat berpuasa Ramadhan itu wajib melintaskan niat di malam hari (tabyitun niyyat), maka kalau lupa berniat puasa di malam hari puasanya tidak sah. Berdasarkan As sunnah, memang ada perbedaan alokasi waktu untuk berniat antara puasa Ramadhan dan puasa sunnah. Niat puasa Ramadhan harus dilaksanakan pada malam hari sampai menjelang fajar, sedangkan niat puasa sunnah tidak.

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

                ”Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari hafshah)

                Hadits di atas menegaskan bahwa tidak sah puasa seseorang dengan niat pada saat fajar terbit, apalagi sesudahnya.

                Adapun niat puasa sunnah sampai dilaksanakan sebelum tergelincir matahari ke arah barat (masuk waktu dzuhur) dan sebelum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud tentang apa yang dikisahkan oleh Aisyah RA bahwa Rosulullah SAW bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَيْهَا ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ (رواه مسلم)

“Dari Aisyah RA. bahwasanya Rasulullah SAW suatu hari bertanya kepadanya “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kemudian Aisyah berkata, “Tidak ada.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu saya puasa.” (HR. Muslim).

Dalam menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan,

وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوْزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ

“Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa sesungguhnya puasa sunnah itu boleh berniat di siang hari sebelum matahari bergeser ke barat.” (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 4/157, Mawqi’ul Islam -Maktabah Syamilah)

  1. Apa sajakah yang diwajibkan dalam niat puasa?

                Sesuatu niat dalam ibadah, harus memenuhi beberapa kriteria yang disesuaikan dengan ibadah yang akan dikerjakan. Untuk niat puasa, ada dua kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, bermaksud mengerjakan puasa, yang masuk kategori “qosdul fi’li”.

                Kedua menyatakan puasa apa yang akan dikerjakan, misalnya puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain sebagainya. Dimana hal ini masuk ketegori “Atta’yin”. Adapun yang menyempurnakan adalah menegaskan fardhu atau sunnahnya puasa yang akan dikerjakan, yang masuk dalam ketegori “Atta’arrudl”. Lantas, menegaskan bahwa puasa yang akan dikerjakannya itu semata-mata karena Allah SWT.

  1. Bagaiamana cara niat puasa?

                Yang dimaksud niat adalah maksud untuk melakukan sesuatu dan tempatnya di dalam hati. Kalaupun niat itu diucapkan atau dilafadzkan maka hukumnya boleh untuk membantu dan untuk meyakinkan. Hal ini bahkan dihukumi sunnah menurut para ulama Madzhab Imam Syafi’i. Jadi, niat itu intinya di dalam hati, artinya di dalam hatinya ia bermaksud untuk melaksanakan puasa bulan Ramadhan. Kalau harus diucapkan itu cukup berbunyi “aku niat puasa Ramadhan esok hari”. Itu sudah sah. Kalaupun dengan niat berbahasa arab yang panjang itu sebenarnya merupakan hal yang lebih baik dan sempurna, tapi perlu diingat bahwa dalam melafadzkan dengan lidah harus dibarengi dengan lintasan niat di dalam hati. Jangan sampai melafadzkan tapi tidak ada lintasan di dalam bathin. Jadi dengan lisannya ia berucap:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

dan kemudian batinnya terlintas niat “aku niat puasa Ramadhan esok hari karena Allah”.

                Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memasukkan isi lafadz niat tersebut ke dalam hati yang mana menurut suatu mazhab dipandang sunnah hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi pendorong tercapainya suatu yang wajib. Hanya satu yang perlu diperhatikan bahwa wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah terpenuhi hanya dengan ucapan lisan, tanpa ada lintasan di dalam hati.

  1. Apakah sah puasa satu bulan Ramadhan dengan niat satu kali?

                Hari-hari puasa Ramadhan merupakan merupakan suatu bentuk ibadah tersendiri yang sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan sesudahnya. Oleh sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat tersendiri.

                Namun demikian, sebagian dari para Fuqaha dari Madzhab Maliki berpendapat bahwa  ”Puasa sebulan Ramadhan itu cukup hanya berniat satu kali saja pada hari pertama”. Dimana pendapat itu didasarkan pada penilaian bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah, dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari yang harus berpuasa, sudah merupakan suatau gaungan ibadah puasa.

                Maka niat berpuasa selama satu bulan kalau dilafadzkan itu berbunyi:

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ

“Aku niat Puasa Ramadhan satu bulan penuh”.

                Pendapat Imam Malik ini meyakini bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang menyatu sebagaimana dalil Allah “Syahru Romadhaanalladzi unzila fihil qur’an….) Namun, menurtu hemat penulis bahwa tidak dapat kita pungkiri pula bahwa setiap hari puasa dalam bulan Ramadhan merupakan suatu bentuk ibadah yang mandiri, sama sekali tidak terkait dengan hari sebelum atau sesudahnya. Bukti yang paling kongkrit yang mendukung pernyataan ini adalah ; ”Batalnya sehari puasa Ramadhan sama sekali tidak mempengaruhi puasa hari berikutnya ”. Dan juga sudah jelas bahwa hari-hari puasa dalam bulan Ramadhan itu merupakan suatu ibadah yang mandiri, maka sulit diingkari bahwasanya setiap hari puasa ramadhan itu harus disertai dengan niat tersendiri, setiap malam, dan setiap malam.

  1. Bagaimana jika kita sudah berniat sahur tapi lupa niat berpuasa?

                Sah. Karena sahur itu adalah niat berpuasa. Jasadmu sahur berarti hatimu berniat menjalankan puasa. Allah a’lamu bis showaab.#abu_zayyan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Taharrak Fa-Inna Fil Harakati Barakah

 AYO OLAHRAGA………….   Taharrak Fa-Inna Fil Harakati Barakah (Bergeraklah, karena setiap gerakan…

Senam Pagi Mingguan Santri Pondok Modern Al-Barokah

  العقل السليم فى الجسم السليم ,Salah satu filsafat yang selalu didapati…