Idul Adha 1441 H depan Pendopo Pondok Modern Al-Barokah Nganjuk

IDUL ADHA

الله أكبر الله أكبر، ولله الحمد، الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا

الله أكبر ما أشرقت شمس هذا اليوم الأغر إلى يوم الدين

الله أكبر ما ارتفعت حناجر المسلمين بالدعاء فى هذا اليوم الميمون

الله أكبر ما لبى الملبون، وطاف الطائفون، وأهدى المضحون

الله أكبر ما عنت الوجود للحي القيوم

الله أكبر ما سعت الأقدام لزيارة سيد الأنام

الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

وأشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، وصلى الله وسلم وبارك على هذا النبي وعلى آله وأصحابه وأنصاره، إلى يوم يبعثون.

       أما بعد فيا أيها الناس أوصيكم ونفسي بتقوى الله عزّ وجلّ فتقواه خير زاد وهي نعم العُدَّةُ ليوم المعاد. فيقول الحقّ سبحانه:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ

(سورة الحجّ: 37)

ESENSI BERKURBAN DALAM ISLAM

Pada hari yang akbar ini, marilah terlebih dahulu kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, bahwa kita masih diberi nikmat iman dan islam, sehingga di pagi hari yang penuh berkah ini kita bisa berkumpul di tempat ini untuk secara serentak mengagungkan, mensucikan dan memuji asma Allah dengan mengumandangkan takbir, tasbih, tahlil dan tahmid, yang akan berlangsung sampai tiga hari berikutnya.

Kesyukuran kita kepada Allah sesungguhnya tidak terbatas pada saat kita menerima nikmat yang menggembirakan, tetapi juga nikmat yang berupa ujian hidup yang menyulitkan. Kehadiran kita pada pagi hari ini dalam rangka merayakan hari raya Idul Adha, atau sering disebut Hari Raya Qurban, atau Hari Raya Haji, sebenarnya untuk mengenang kisah keluarga Nabi Ibarahim AS saat menerima ujian hidup yang amat menyulitkan, yang terjadi sekitar 3800 tahun silam.

Waktu itu, sesudah  terpisah  lebih dari sebelas tahun, Ibrahim yang datang dari Kan’an, berjumpa kembali dengan istrinya, Hajar, dan anaknya, Ismail di padang Arafah. Namun Kegembiraan itu tidak bertahan  lama. Sebab Malamnya Ibrahim Mendapatkan wahyu lewat mimpinya untuk mengorbankan anak yang amat dirindu dan amat dicintainya itu. Tentu saja, perintah lewat mimpi itu menimbulkan keraguan pada diri Ibrahim. Sebab, apa tidak mungkin misalnya, mimpi itu berasal dari bisikan setan.

Ibrahim yang diliputi perasaan sedih, cemas dan bingung, ditanyaoleh sang putra, “ mengapa Ayahada tampak murung ?” Bukankah mestinya Ayah dalam keadaan suka cita setelah sebelas tahun berpisah dengan ananda”. Dengan gemetar Ibrahim menjawab,  “tadi malam aku bermimpi diperintah oleh Allah untuk menyembelihmu, dan  aku dalam  keadaan  ragu . Bagaimana pendapatmu wahai anakku?”

Dengan tegas Ismail menjawab; sebagaimana terungkap dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 102:

 

لَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

  1. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.( QS.Al- Shaffat: 102)

            Dengan serta merta Ibrahim memeluk Ismail, karena terharu menyaksikan kepatuhan putranya kepada Ayahnya dan keikhlasannya untuk melaksanakan perintah Allah. Seraya itu, Ibrahim berkata: “ Anakku, sikapmu yang begitu ikhlas dan pasrah atas perinta Tuhan yang amat berat ini, telah memudahkanku untuk melaksanakan perintah Allah.”

Ringkas kisah, tatkala Ibrahim siap melaksanakan penyembelihan, dan Ismail sudah dibaringkan di atas tatakan batu di Jabal Qurban di Mina, datanglah seruan dari Allah kepada Ibrahim:

 

قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ

  1. dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al-Shaffat:105)

Dan, balasannya Allah kepada Ibrahim, adalah berupa penebusan dengan seekor domba besar untuk di sembelih, menggantikan korban putranya, Ismail.

Demikianlah latar belakang kisah disyariatkan kurban kepada kita, umat Muhammad SAW. Sudah barang tentu, kewajiban kurban hanya dikenakan bagi kaum muslimin yang mampu. Bagi mereka yang mampu, tapi enggan melaksanakan kurban, Rasulullah mengancam orang-orang yang demikian itu dengan sabdanya:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Artinya: “Barang siapa memiliki kelonggaran (rejeki) dan tiedak mau berkorban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalatku”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Kendati syari’at Islam telah kita yakini dengan penuh keimanan, tetapi tak pelak peristiwa itu telah menimbulkan kontroversi, atau gambaran yang berbeda terutama dari kalangan pemikir barat yang Nasrani, yang ingin menebar keraguan kepada kaum muslimin atas kebenaran al-Qur’an. Bernarkah Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail? Mereka menilai, bila peristiwa penyembelihan itu benar, sebagaimana diungkap dalam al- Qur’an surat al-Shaffat ayat 102, berarti Tuhan Nabi Ibrahim itu penjahat kejam. Bagaimana mungkin, Tuhan yang katannya Maha Pengasih dan Penyayang kepada manusia itu, Justru rela memerintahkan seorang ayah untuk menyembelih putranya tercinta?”. Demikian kata mereka.

Menanggapi hal ini, Alhamrhum Sheikh Abbas Mahmud al Aqqad, ulama besar Mesir berpendapat bahwa mereka yang menyangkal peristiwa itu dengan memutar-balikkan kebenaran, sesungguhnya belum memahami benar agama tauhid yang dipeluk Ibrahim dan Ismail. “Konsep agama tauhid”, jelas syaikh al Aqqad, “ adalah sikap totalitas seorang hamba kebada Tuhannya. Sehingga ia akan rela megorbankan miliknya yang sangat berharga, yang sangat dicintai, demi menjalankan perintah Allah. Ini dijelaskan pula dalam Surat al – Baqarah (2) ayat 165:

وَإِنَّا لَنَحْنُ ٱلصَّآفُّونَ

Artinya: “ Dan orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah (Al-Baqarah (2) :165)

Kiranya Nabi Ibrahim telah menunjukkan kepada kita, bahwa kecintaannya kepada anak, tidak bisa dikalahkan dengan kecintaannya kepada Allah. Walaupun perintah Allah itu datangnya hanya lewat mimpi, Nabi Ibrahim tetap menjalankan perintah tersebut dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Hal ini persis dengan ungkapan syair Willian Shakespeae, “ Lovers car will hear the lovest sound” telinga pecinta akan mendengarkan suara paling rendah sekalipun dari yang dicintai.

Kiranya nabi Ibrahim telah menunjukkan kepada kita, bahwa kecintaan kepada anak, tidak bisa dikalahkan dengan kecintaan kepada Allah. Walaupun perintah Allah itu datangnya hanya lewat mimpi, Nabi Ibrahim tetap menjalankan perintah tersebut dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Hal ini persis dengan ungkapan syair William Shakespeae, “ Lovers car will hear the lovest sound” telinga pecinta akan mendengarkan suara paling rendah sekalipun dari yang dicintai.

Sesungguhnya, ibadah yang kita jalani saat ini, apakah itu ibadah kurban atau ibadah haji, atau ibadah – ibadah lainnya, tidak dapat dipisahkan dari kecintaan kita kepada Allah. Harta benda, perniagaan, kedudukan, keluarga, dan apa-apa yang menjadi milik kita, tidak patut kita cintai lebih dari cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Apalagi jika kita gunakan untuk jalan kedurhakaan.

Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 24 menjelaskan:

 

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

  1. Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(QS.At-Taubah : 24).

            Tanggapan kedua atas pemahaman kaum orientalis Barat mengenai hakekat kurban disampaikan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab. Beliau, mengatakan, bahwa perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya, yang kemudian berkat maha kasih Allah diganti dengan seekor domba justru untuk membebaskan kurban dalam bentuk manusia. Peristiwa itu bahkan merupakan isyarat bahwa Tuhan sedemikian kasih kepada manusia, sehingga kurban manusia tidak diperkenankan oleh-Nya.

Pada zaman sekitar abad ke-18 SM, masa ketika Nabi Ibrahim hidup, manusia seringkali dijadikan kurban atau sesajen kepada tuhan-tuhan atau dewa-dewa dari agama-agama primitif masa itu. Sebagai misal, di Mesir, gadis tercantik dipersembahkan setiap tahunnya kepada Dewi sungai Nil. Di Kan’an (Irak), bayi-bayi dipersembahkan kepada Dewa Baal. Di Meksiko, orang Astek menyerahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. Di Eropa utara, orang-orang Viking yang sebelumnya mendiami Kandinavia mengurbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada “Odin”, dewa perang. Dan terkhir, yang masih kita ingat dan kita ketahui sampai sekarang, adalah pengorbanan diri Yesus Kristus di tiang salib, yang darah dagingnya, kemudian disimbolkan dengan sekerat roti dan anggur, dianggap sebagai media penyelamatan manusia, penebus dosa manusia.

Apa yang disyari’atkan kepada Ibrahim mengenai kurban, yang kemudian berlaku pula kepada umat Muhammad SAW, amatlah berbeda dengan pengorbanan dalam agama-agama diatas. Ajaran kurban dalam syari’at Islam inilah yang sesungguhnya menandai tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia, khususnya hak kelangsungan hidup manusia.

Kalaupun kita sekarang ini diwajibkan berkurban dengan seekor domba/kambing per orang, dan seekor sapi atau unta bagi tujuh orang, maka sesungguhnya yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah binatang tersebut. Yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaan kita yang diwujudkan dengan keikhlasan untuk berkurban. Allah berfirman:

 

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ

  1. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (QS.Al-Hajj: 37).

Dalam rangka memenuhi perintah Allah dalam segala segi kehidupan kita saat ini, semangat ajaran kurban nampaknya tidak terbatas untuk diwujudkan pada saat kita berada pada waktu hari raya Idul Adha seperti ini. Kendatipun pelaksanaan kurban (dengan menyembelih hewan ternak) puncak perayaannya jatuh pada hari Nahr, tanggal 10, dan hari Tasyrik, tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, namun untuk selalu berkurban hendaknya memancar ke seluruh waktu dan seluruh dimensi kehidupan kita.

Inti dari semangat berkurban itu tidak lain adalah ketundukan yang mutlak kepada Allah dalam mencapai ridha-Nya. Dan ketundukan kita itu tidak lain adalah teguhnya komitmen kita kepada kebenaran dan sudi membela kebenaran itu demi tegaknya panji-panji agama Allah. Yang demikian itu telah diteladankan oleh nabi Allah Ibrahim denan menentang segala bentuk kedhaliman, kemungkaran, kemusyrikan, ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa yang tiranik, yang kemudian menyeret Ibrahim ke pembakaran dirinya. Dalam konteks memperjuangkan kebenaran, maka sesungguhnya semangat berkurban Ibrahim telah muncul sebelum mengorbankan putranya tercinta, Ismail.

Kini, dalam tataran kehidupan kita yang semakin beroientasi pada materi, maka siapa dan apakah sesungguhnya “Ismail-Ismail” kita yang akan kita kurbankan demi tegaknya agama Allah, yakni tegaknya kebenaran, keadilan yang memancar ke seluruh segi kehidupan? Sebab sosok ‘Ismail’ tidak lain adalah simbol dari kecenderungan dan kecintaan manusia pada dunia. Bisa jadi ‘Ismail’ kita saat ini berupa kedudukan, status sosial, kekayaan, prestasi, perniagaan yang kita usahakan, kemewahan hidup, dan lain-lain. Masing-masing diri kitalah yang lebih memahami siapa dan apa ‘Ismail’ kita yang sebenarnya. Dan digunakan untuk apa kepentingan apa sajakah ‘Ismail-Ismail’ yang kita miliki itu? Barangkali dengan moment seperti ini, kita bisa berharap menjadi ‘Ibrahim-Ibrahim’ yang mampu mewarisi semangat berkorban, dengan menyadari bahwa harta, kedudukan, prestasi, dan lain-lain yang sangat kita cintai, tidak lain adalah hak milik relatif kita. Artinya, pada sebaian dari milik kita itu terdapat hak bagi mereka yang tidak mampu, baik mereka yang menampakkannya dengan cara meminta-minta atau yang tidak mau meminta-minta.

Sebagaimana diungkapkan oleh Allah dalam al – Qur’an sural Adz-Dzaariyat ayat 19:

 

  وَفِىٓ أَمْوَٰلِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَٱلْمَحْرُومِ

  1. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS. Az-Zaariyat ayat: 19)

Kiranya, di tengah-tengah kehidupan kita ini, tidak jarang masih terdapat orang-orang yang memang tidak mendapat bagian dari rizki Allah yang berlimpah. Bukan karena kemaslahatan mereka, tetapi mungkin karena kekikiran ketamakan dan rendahnya semangat pengorbanan kita. Semoga Allah mengampuni kekhilafan kita.

Sesungguhnya ujung dari semangat berkorban ini adalah kebaktian kita kepada Allah. Dan kebaktian yang sempurna itu salah satunya diwujudkan dengan menafkahkan sebagian dari rizki kita untuk kepentingan di jalan Allah. Allah berfirman:

 

لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

  1. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. Ali Imran: 92).

Untuk riilnya, apa saja yang sesungguhnya tercakup dalam upaya menuju ke kebaktian yang sempurna itu? Dalam surat Al Baqarah ayat 177, Allah menjelaskan:

 

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

  1. bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah:177).

Dengan demikian, ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mewujudkan kebaktiannya kepada Allah dengan amal shaleh. Amal yang berorientasi vertikal kepada Allah (habl min Allah), dan amal yang berdimensi horisontal (habl min al-nas). Dan ketaqwaan inilah sebaik-baik bekal dalam perjalanan hidup manusia.

بارك الله لي ولكم فى القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، وقل ربّ اغفر وارحم وأنت خير الراحمين

You May Also Like