Bagaimana tidak mulia, kehidupan guru selalu berdekatan dengan sifat mulia Allah SWT. Ilmu. Ya ilmu. Allah Maha Mulia karena kemuliaan ilmu-Nya, maka yang ketempelan sifat mulia Allah, maka dia ikut mulia. Orang yang berilmu, bagaimanapun bentuk fisiknya, berapapun umurnya, dimanapun keberadaannya, dia tetap terhormat dan dimuliakan. Tentunya Kita ingat kata-kata hikmah di mahfudhat, “orang yang berilmu akan menjadi besar walau ia masih kecil, orang bodoh akan menjadi kecil walau dia sudah tua.”
Permasalahannya, banyak guru yang merasa tidak mulia dan terhormat, apalagi merasa bangga. Mengapa? Ini menyangkut mindset , cara melihat dan memaknai hidup ini. Kalau standard hidupnya diukur dengan jumlah materi yang diterima, apalagi yang dikejar adalah GAYA HIDUP.
Maka seberapapun materi yang diperoleh tidak akan pernah cukup, berapapun. Tentu tidak perlu dimaknai, bahwa kalau sudah menjadi guru musti harus nrimo, apa adanya, tidak perlu hidup layak atau sejahtera. Karena sebetulnya, sejahtera atau tidak seseorang itu merupakan pantulan dari berkualitas atau tidaknya batin, berjiwa besar apa tidak, memiliki nilai keunggulan apa tidak, punya daya kreatifitas tinggi apa tidak, punya inovasi hidup apa tidak, dan banyak prasyarat lainnya. Ada orang yang mengejar materi, tapi tidak sedikit pula orang yang dikejar materi. Bukankah orang yang ahli dan baik sikap hidupnya akan dicari dan dikejar walau ia hidup di puncak gunung, atau di seberang lautan. Tidak perlu harus menyalahkan orang lain atau lingkungan disebabkan ketidakmampuan kita. Menjadi gurupun demikian.
Wallahu a’lam bisshowab.